Jeritkan namaku, jeritkan di dalam relung yang sayup.
Jeritkan diantara sepi yang ramai,
Jeritkan diantara gelap yang benderang.
Oh! Mungkin tak sudi terngiang nama yang merindumu. Acuh.
Dari pojok dimensi yang berbeda, aku menusuk menatap.
Meskipun tak gamblang dan tak asa merengkuh.
Diam diam di balik sembunyi aku mengagumimu.
Aku dungu, kau bulan bergandeng bintang.
Aku bodoh, kau melangkah dengan lantang.
Menyapu desir nafsuku yang mengambang sayu,
Bagai diserbu tentara seribu berbanding satu.
Telanjangi aku dengan senyummu, cumbu aku dengan tatapanmu.
Yang aku tahu ini hanya maya lalu,
ilusi fana dari syaraf cemburu
Yang terbakar oleh api rindu.
Bibir menyangsikan kealfaan ragamu.
Kau hanya satu diantara jutaan bintang biru,
yang berhasil mengunci laju hati meragu,
Merasuk senyap yang gaduh dalam rayu.
Affichage des articles dont le libellé est fairytales. Afficher tous les articles
Affichage des articles dont le libellé est fairytales. Afficher tous les articles
samedi 11 février 2012
samedi 28 janvier 2012
Terimakasih, love! :)
I woke up, and he told me to check my email and I found a mail from him, with my full name as its subject. I read it and I smiled, he's my boy.
"Payungi saja malam ini biar teduh segala gelapnya dari musim penghujan.
Ulangi segala perputaran bulan lalu pindahkan ke sisi berikutnya agar terdiam.
Tidurlah hey sayang. Mungkin tak ada pelukan mesra dariku tapi kau tahu bahwa aku selalu memimpikanmu kan?
Untung saja kali ini terdengar hu-hu burung hantu yang mungkin saja sebenarnya aku mengigau.
Pertama adalah segala kerinduan akan hangatnya pagi, lalu dirimu.
Rasanya seperti mimpi. Sungguh. Klise bukan? Tapi perlahan semuanya bergerak terendap.
Andai aku bisa terbang, maka aku terbang. Mungkin jatuh pun, aku akan jatuh ke pelukanmu.
Dan selanjutnya ada yang bertanya. “Tapi cinta bisa salah.”
Nah, bukannya itu pernyataan bukan pertanyaan bukan? Entahlah.
Yang terakhir kudengar adalah tak pernah ada jawaban untuk pertanyaan yang selalu kita dengungkan.
Akhirnya lebih baik bila kita cari sendiri jawaban itu kan. Jawaban untuk sebuah pertanyaan lalu pernyataan. Atau sebaliknya. “Baiklah, kita lakukan.”
Perhatikan dan lihatlah. Jalan kita masih sangat panjang.
Akan tetapi cinta hanya sanggup hinggap di sudut orang yang percaya dan mendengar.
Rasanya seperti hal yang tak bisa dirumuskan oleh kesepuluh jari kita sendiri. Ya. Bahkan jari kita sendiri.
Andai aku bisa terbang, maka aku terbang. Mungkin aku jatuh pun, aku akan jatuh ke kesepuluh jarimu, agar mungkin bisa kau rumuskan cintaku.
Mungkin sambil kau tutup matamu. Disini ada negeri, negeri para peri.
Ia benar benar melihat, kedalam frase perputaran rotasi bumi. Biasanya aku sambil melihat keluar jendela.
Tapi dia terkejut. Siapa si dia? Tidak. Tidak. Lebih tepatnya dia itu siapa?
Aku mengenalnya ternyata dia melantur mungkin sembunyi di sudut gelap seribu satu dongeng.
Aku ingin menuliskan nama kita di selembar angin. Entah semarang, surabaya, atau bandung.
Yang mungkin aku tak peduli asalkan tertulis nama kita. Bahkan mungkin di ketiganya.
Ujung pembicaraan pembicaraan kita pun tertangkap dalam sebuah inisial. Tanpa kutipan. Kita yang mengutip, lebih asik.
Waktu akan selalu bertambah tua dan dewasa. “Tapi kemana?” Kamu tahu hal itu juga bukan?
Itu pertama kali kulihat kamu tersipu. Tersipu pada matahari? Lalu sinarnya jatuh berguguran.
Dan akhirnya tertempel di senyummu. Tapi itu bukan matahari. Itu kamu.
Itu kamu yang bersinar mesra selayaknya embun pagi pada mentari.
Yang mungkin kamu tempuh, lihat dirimu. Semakin berusaha untuk kupetik kata ‘ya’ dari mulutmu.
Akan semakin kusadari, aku jatuh cinta padamu. Kecepatan penuh, gas pol.
Sebuah mata itu terus mencari. Tapi suatu dayamu telah menarikku padamu. Kamu menemukanmu, atau aku yang menemukanmu.
Aku mematung. Itu kamu didepanku."
-Kukuh Rizal Arfianto
"Payungi saja malam ini biar teduh segala gelapnya dari musim penghujan.
Ulangi segala perputaran bulan lalu pindahkan ke sisi berikutnya agar terdiam.
Tidurlah hey sayang. Mungkin tak ada pelukan mesra dariku tapi kau tahu bahwa aku selalu memimpikanmu kan?
Untung saja kali ini terdengar hu-hu burung hantu yang mungkin saja sebenarnya aku mengigau.
Pertama adalah segala kerinduan akan hangatnya pagi, lalu dirimu.
Rasanya seperti mimpi. Sungguh. Klise bukan? Tapi perlahan semuanya bergerak terendap.
Andai aku bisa terbang, maka aku terbang. Mungkin jatuh pun, aku akan jatuh ke pelukanmu.
Dan selanjutnya ada yang bertanya. “Tapi cinta bisa salah.”
Nah, bukannya itu pernyataan bukan pertanyaan bukan? Entahlah.
Yang terakhir kudengar adalah tak pernah ada jawaban untuk pertanyaan yang selalu kita dengungkan.
Akhirnya lebih baik bila kita cari sendiri jawaban itu kan. Jawaban untuk sebuah pertanyaan lalu pernyataan. Atau sebaliknya. “Baiklah, kita lakukan.”
Perhatikan dan lihatlah. Jalan kita masih sangat panjang.
Akan tetapi cinta hanya sanggup hinggap di sudut orang yang percaya dan mendengar.
Rasanya seperti hal yang tak bisa dirumuskan oleh kesepuluh jari kita sendiri. Ya. Bahkan jari kita sendiri.
Andai aku bisa terbang, maka aku terbang. Mungkin aku jatuh pun, aku akan jatuh ke kesepuluh jarimu, agar mungkin bisa kau rumuskan cintaku.
Mungkin sambil kau tutup matamu. Disini ada negeri, negeri para peri.
Ia benar benar melihat, kedalam frase perputaran rotasi bumi. Biasanya aku sambil melihat keluar jendela.
Tapi dia terkejut. Siapa si dia? Tidak. Tidak. Lebih tepatnya dia itu siapa?
Aku mengenalnya ternyata dia melantur mungkin sembunyi di sudut gelap seribu satu dongeng.
Aku ingin menuliskan nama kita di selembar angin. Entah semarang, surabaya, atau bandung.
Yang mungkin aku tak peduli asalkan tertulis nama kita. Bahkan mungkin di ketiganya.
Ujung pembicaraan pembicaraan kita pun tertangkap dalam sebuah inisial. Tanpa kutipan. Kita yang mengutip, lebih asik.
Waktu akan selalu bertambah tua dan dewasa. “Tapi kemana?” Kamu tahu hal itu juga bukan?
Itu pertama kali kulihat kamu tersipu. Tersipu pada matahari? Lalu sinarnya jatuh berguguran.
Dan akhirnya tertempel di senyummu. Tapi itu bukan matahari. Itu kamu.
Itu kamu yang bersinar mesra selayaknya embun pagi pada mentari.
Yang mungkin kamu tempuh, lihat dirimu. Semakin berusaha untuk kupetik kata ‘ya’ dari mulutmu.
Akan semakin kusadari, aku jatuh cinta padamu. Kecepatan penuh, gas pol.
Sebuah mata itu terus mencari. Tapi suatu dayamu telah menarikku padamu. Kamu menemukanmu, atau aku yang menemukanmu.
Aku mematung. Itu kamu didepanku."
-Kukuh Rizal Arfianto
Inscription à :
Articles (Atom)